Bagi pehobi dan kolektor pasti mengenal bahasa thrifting yang sedang ramai diperbincangkan oleh media akhir-akhir ini. Berkaitan dengan impor pakaian bekas di Indonesia, para penggemar thrifting pastinya ada pro kontra terkait langkah yang dilakukan pemerintah mengenai larangan perdagangan jual-beli barang bekas. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo juga sebelumnya menegaskan dalam siaran pers-nya untuk stop impor pakaian besar—karena dinilai bisa merugikan industri tanah air.
Kok bisa seperti itu, bagaimana dampaknya?
Sebelum lebih lanjut menyelami lika-liku impor pakaian bekas di Indonesia, mari kita pelajari dulu peraturan pemerintah mengenai larangan impor barang melansir hukumonline.com, sbb:
“Larangan impor untuk barang-barang tertentu telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor (“Permendag 18/2021”)”
Adapun pemerintah melarang impor barang demi kepentingan nasional dengan beberapa alasan melindungi keamanan nasional, melindungi hak kekayaan intelektual, dan melindungi kesehatan serta keselamatan manusia. Lebih dari itu, barangsiapa yang melanggar akan mendapat ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp 5 miliar.
Jadi itu yang pertama tentang dasar hukum penjualan atau impor barang bekas di Indonesia. Lalu, apakah thrifting termasuk didalamnya?
Apa itu Thrifting?
Thrifting diambil dari bahasa Inggris, yaitu kata thrift. Merujuk situs vocabulary dari arti kata thrift adalah hemat, menghemat atau penghematan. Dengan mengacu pada perilaku penggemar, thrifting menjadi gaya hidup hemat yang dikeluarkan oleh para penggemar untuk berbelanja produk murah dari brand populer.
Pengertian tentang thrifting juga mengarah kepada kegiatan berbelanja barang bekas yang dinilai memiliki harga murah, kualitas yang masih dianggap bisa digunakan, sehingga lebih menghemat pengeluaran. Kegiatan thrifting ini biasanya menggunakan kualitas produk lokal maupun impor dari brand ternama.
Melansir situr The Daily Star, istilah thrifting mulai menjadi tren global khususnya di Indonesia, ketika aktivitas tersebut dilakukan dengan membeli produk bekas di toko khusus yang disebut thrift shop.
Kenapa Thrifting melanggar hukum?
Kegiatan yang marak bagi pehobi dan kolektor barang branded tangan kedua (second) di Indonesia menjadi sorotan. Tak bisa dipungkiri lagi, antusiasme masyarakat yang sering berbelanja produk impor sudah mencapai tahap expert. Sementara di sisi lain, keinginan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian lokal sedang digencarkan. Larangan tersebut bukan tanpa sebab atau dasar hukum yang telah dijelaskan sebelumnya. Tetapi, lebih parahnya lagi, masih kurangnya minat masyarakat terhadap brand lokal Indonesia. Seharusnya yang diinginkan pemerintah adalah para pelaku usaha melakukan kegiatan penjualan brand atau pakaian lokal bukan impor pakaian bekas.
Yap, itulah bedanya thrifting dengan impor pakaian bekas yang menjadi polemik saat ini.
Bagaimana tanggapan pedagang thrifting?
Meski perdagangan impor pakaian bekas sudah beredar sejak lama, masih saja ada pemain-pemain yang kembali menciptakan pasar lebih besar lagi. Mereka yang hidup dari menjual produk impor memberikan pembelaan soal kegiatan yang dilakukan. Meski mengganggu dan berdampak buruk bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM), hal itu disebut kurang tepat oleh salah satu pedagang thrifting.
Menurut salah satu pedagang di Pasar Senen, yang tidak mau menyebutkan namanya ini, impor pakaian bekas hanya diminati oleh konsumen yang mencari jenis pakaian vintage.
“Faktanya, semua pakaian bekas impor yang masuk ke Indonesia adalah pakaian yang layak dengan kualitas bagus. Itulah sebabnya anak muda belakangan ini sangat menggemari thrifting atau pakaian bekas brand impor,”
Ia juga berujar bahwasanya telah banyak negara di Asia Tenggara yang menjadi importir pakaian bekas seperti Thailand dan Vietnam.
“Pakaian bekas ini adalah komoditas global yang sudah diperjualbelikan di hampir seluruh negara dunia. Bahkan, banyak negara-negara maju juga mengimpor pakaian bekas dari negara lain. Jadi, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerima impor pakaian bekas dari luar, tuturnya.
Mari Mencintai Produk Lokal!
Meski impor pakaian bekas merupakan isu lama, setidaknya sampai hari ini sudah mencapai ribuan pedagang yang telah bertahan hidup dengan cara impor pakaian bekas. Namun, dengan semakin pesatnya perdagangan pakaian bekas, telah membuat industri tekstil dan pakaian lokal tak bisa berkontribusi maksimal. Penyerapan tenaga kerja pun jadi tersendat. Akibatnya, kontribusi industri pakaian dan tekstil lokal terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.
Kepada Kompas, menurut Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah, yang menginisiasi impor pakaian bekas memang harus ditindak tegas bila terbukti dilakukan secara ilegal dan dapat dimusnahkan. Namun, pakaian bekas yang sudah beredar di pasar UMKM tak perlu disita dan dimusnahkan, kecuali pemerintah dapat mengganti kerugiannya.
Kebijakan pemerintah soal impor pakaian bekas tak cukup berupa larangan. “Pemerintah harus mencarikan solusi bagi masyarakat, khususnya kelas bawah, akan ketersediaan sandang yang murah,” ungkap Piter.
Karena untuk membangun kembali rasa cinta dan bangga terhadap produk lokal negeri harus melulu sesuatu yang terjangkau—sesuai kondisi perekonomian secara menyeluruh. Semua kalangan perlu ikut andil dalam menyelaraskan pola pikir terhadap kegiatan perdagangan legal dengan tingkat kesadaran brand lokal perlu ditanamkan. “Mindset semua kalangan harus membuat perdagangan lokal produktif, agar industri impor ilegal tidak terjadi lagi,”
Nah, bagaimana menurut kamu? Apakah setuju dengan thrifting impor pakaian bekas di Indonesia harus dibubarkan atau diperbaiki? Temukan solusi hobi dan koleksi barang berlisensi resmi, kualitas global, vintage hingga memorabilia di www.fangir.com